Kamis, 15 April 2010

PERTANIAN

Kebijakan perdagangan pemerintah kita telah memurahkan gandum. ltu telah berpengaruh buruk terhadap pangan lokal, seperti sagu, ketela rambat, ketela pohon, jagung.

Mungkin tidak ada negara berkembang yang menolak libera­lisasi ''perdagangan, apabila itu dapat mendorong berkembangnya agroindustri, meningkatkan ekspor produk yang melibatkan petani/peternak sempit, harga membaik, produktivitas produk ekspor mening­kat, serta upah riil naik dan tercipta lapangan kerja karena dorongan ekspor.

Penelitian intensif yang dilakukan UNDP, FAO dan UNTAC di sejumlah negara berkembang memperlihatkan hasil sebaliknya. Ternyata, negara berkembang semakin sulit mendorong pembangunan pertanian dan perdesaan, serta menciptakan lapangan kerja di era liberalisasi. Itu penyebab eksodus penduduk desa ke kota, pengangguran bertambah dan suburnya kriminalitas. Impor pangan meningkat lebih pesat. Ekspor produk negara berkembang yang umumnya produk primer harganya terus turun. Lebih dari separo devisa (hasil ekspor total dikurangi untuk bayar hutang luar negeri) telah dipakai untuk impor pangan.

Diperkirakan 85-90% perdagangan produk pertanian dikontrol 5 MNC (mufti national cor­poration). Sekitar 70% perdagangan serealia dikuasai 2 MNC, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. Sebagian besar produksi dan perda­gangan pangan dikuasai negara maju dan MNC milik AS dan UE.

Produksi pangan (jumlah maupun jenisnya) semakin terkonsentrasi pada sedikit negara maju, yaitu: AS, UE, Australia, Selandia Baru dan Kanada. Negara berkembang yang eksportir pangan terbatas Argentina, Brasil, Thailan, In­dia, Vietnam, Cina. Negara maju lebih banyak jenis dan ragam pangan yang mereka hasilkan dan ekspor, sebagian besar pangan olahan. Itu dikuasai dari hilir hingga hulu oleh MNCs. Itu sebabnya, produksi pangan semakin menjauhi pasar persaingan. Risikonya, mudah terjadi instabilitas harga dan suplai. Sejumlah negara maju memakai pangan sebagai alat politik, kerap melakukan embargo pangan.

Perundingan Putaran Doha WTO yang dimulai akhir 2001 belum berhasil menuju konvergensi. Negara besar, terutama AS, tidak mau mengalah sedikitpun soal penurunan subsidi sektor pertaniannya. Malahan AS tetap meminta agar negara lain, termasuk negara berkembang, harus membuka pasar yang lebih lebar lagi. Negara maju juga didukung oleh lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF untuk menekan negara berkembang dengan berbagai cara.

Diantara 20 komoditas yang mendapat subsidi di AS, yang terbesar adalah beras, jagung, kedelai, gandum, kapas. Sebagian besar subsidi itu jatuh ke petani luas dan korporasi. AS mendominasi ekspor produk pangan ke negara berkembang, tiga kali lebih tinggi dari Brasil. Padahal Brasil adalah negara berkembang eksportir produk pertanian terbesar di dunia.

Praktek dumping harga produk pertanian umum dilakukan oleh MNC, pangan dijual di bawah ongkos produksi. Akibatnya, petani negara berkembang tidak mampu bersaing. Bukan tidak kompetitif dalam ongkos produksi, tetapi mereka tidak berdaya bersaing dengan Departemen Keuangan AS dan UE. Petani kapas di Afrika Barat dan petani jagung Meksiko jatuh melarat dan terperangkap dengan kemiskinan karena itu. Nasib yang sama dialami petani kedelai, jagung, beras, gula, susu, peternak ayam di banyak negara berkembang. Petani pangan kita juga menerima dampaknya.

Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum penting di dunia. Kita mengimpor 5,2 juta ton gandum umumnya melalui MNC, menguras devisa hampir Rp 8 triliun/tahun. Kebijakan perdagangan pemerintah kita telah memurahkan gandum. Itu telah berpengaruh buruk terhadap pangan lokal, seperti sagu, kete­la rambat, ketela pohon, jagung. Pola konsumsi masyarakat kita semakin tergiring menjauhi produk lokal, itu telah menyulitkan diversifikasi pangan. Disamping itu, Indonesia semakin sutit mendorong peningkatan produksi, terutama membangun agroindustri pangan non-gandum.
bsp;
Pangan impor, terutama gandum kalau tidak mampu dilola dengan baik, itu dapat menghancurkan lapangan kerja, membuyarkan pembangunan agroindustri pangan, serta menambah kemiskinan. Pemerintah terlalu lib­eral terhadap gandum, juga pangan lainnya. Perlindungan tarif hanya ditetapkan 0-5%, sedangkan perlindungan non-tarif tetah lama dihapus, kecuali gula dan beras.

Peran pangan dalam negeri bukan hanya mensuplai energi/protein serta serat-seratan buat masyarakatnya, tetapi juga berperan penting dalam atasi kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendorong berkembangnya agro-industri dan pembangunan desa. Pangan impor tidak mampu mensubstitusi pangan lokal secara sempurna, terbatas pada penyelesaian suplai energi. Kebijakan perdagangan haruslah diarahkan untuk mendorong pembangunan pangan dalam negeri, bukan memperlemahkannya. Seharusnya kita tidak perlu terlalu liberal, dampaknya terlalu buruk pembangunan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar