Kamis, 15 April 2010

PERTANIAN

Jakarta - Banyak kalangan pesimis akan masa depan pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia. Dunia pertanian seolah-olah menunggu lonceng kematian karena gagalnya berbagai kebijakan pembangunan terkait yang tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan petani.

Problematika pembangunan pertanian memang sangat rumit dan saling berkaitan. Kebijakan yang tidak tepat akan berakibat sangat fatal dan bisa memperburuk kondisi petani sehingga akan lebih menderita lagi.

Dengan mempertimbangkan kekayaan potensi sumber daya baik fisik maupun manusia kita sebenarnya bisa cukup optimis menuju kebangkitan dan kejayaan pertanian yang akhirnya akan membawa peningkatan taraf hidup pelaku utamanya yaitu petani.

Hal yang paling mendasar adalah komitmen dan goodwill segenap komponen bangsa untuk mengembalikan momentum pembangunan pertanian sebagai penggerak ekonomi bangsa. Kemauan politik dan keberpihakan negara dan politisi menjadi salah satu penentu kebangkitan pertanian.

Pangan dan Persoalannya
Dalam konteks pembangunan pertanian umum Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat kita mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan.

Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5 persen atau 51 juta ton (Rice Almanac, 2002). China dan India sebagai produsen utama beras berkontribusi 54 persen. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan
negara eksportir beras hanya berkontribusi 54 dan 3,9 persen.

Rerata produksi beras Indonesia 4,3 ton/hektar. Produktivitas tersebut sudah melampaui India, Thailand, dan Vietnam. Meskipun masih di bawah produktivitas Jepang dan China (rerata di atas 6 ton/hektar).

Lalu, kenapa Indonesia hampir setiap tahun selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan. Utamanya yaitu beras?

Ada beberapa persoalan serius yang perlu dicermati dan dicarikan solusinya. Salah satu sebab utama adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa. Makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi luar biasa besar.

Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg (IRRI, 1999).
Hal itu juga menunjukkan bahwa program diversifikasi pangan di Indonesia masih jauh dari berhasil. Namun, sepanjang kita masih mengkonsumsi beras dengan jumlah sebanyak itu maka problem pangan masih akan sulit diatasi.

Persoalan yang lain adalah transformasi struktural yang kurang berjalan. Di mana pun di dunia ada pola bahwa peran pertanian dalam perkonomian nasional akan semakin menurun dan ada pergerakan angkatan kerja dari pertanian ke sektor industri dan jasa.

Di Indonesia lahan pertanian semakin dipenuhi oleh angkatan kerja baru karena tidak ada alternatif lain untuk mencari pekerjaan. Tentu hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan efisiensi produksinya. Dalam tahap tertentu tesis Clifford Geertz tentang agricultural involution nampaknya telah berlaku.

Mencari Jalan Keluar

Penyelesaian persoalan pertanian juga bergantung pada sektor-sektor yang lain. Pertanian sendiri tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri. Perlu keterpaduan lintas sektoral untuk mengatasi persoalan karena saling berkaitan.

Kebijakan diversifikasi pangan terkait pengolahan pangan. Sektor perindustrian dan perdagangan akan memainkan peran penting. Penganekaragaman pangan harus dimulai dengan serius dengan melakukan tindakan nyata untuk menggali kembali bahan pangan lokal terutama umbi-umbian yang tersedia melimpah. Perlu dikampanyekan dengan sistematis sebagai substitusi beras sampai tataran tertentu.

Pengalaman Jepang yang mengkampanyekan bahan pangan lokal dan gandum ketika terjadi kelangkaan pangan/beras awal kekalahannya dalam Perang Dunia II dengan menyediakan makanan untuk anak sekolah terbukti sangat efektif mempengaruhi perilaku konsumsi pangan. Saat ini konsumsi beras orang Jepang hanya 90 kg per orang per tahun dan cenderung semakin menurun.

Persoalan akses petani terhadap lahan juga menjadi isu yang sangat serius. Sebagian besar petani kita adalah petani gurem (kepemilikan kahan kurang dari 1.000 meter), jumlah tuna kisma meningkat terus menerus. Kebijakan land reform yang dicetuskan sejak awal pemerintahan SBY nampaknya juga belum memberikan hasil yang jelas.

Selain implementasi nyata land reform yang memberi akses lahan pada petani. Masalah petani gurem juga terkait dengan transformasi struktural pedesaan dan pertanian.

Dalam transformasi struktural penciptaan industri pedesaan melalui pengolahan bahan pangan lokal nampaknya akan membuka lapangan kerja baru baik dalam hal produksi, pengolahan, maupun distribusi dan pemasarannya. Pertanian yang sehat dan produktif (viable) seyogyanya memiliki luasan yang cukup.

Sebagian petani gurem dan tuna kisma dapat beralih profesi ke industri pedesaan jika kesempatannya diciptakan. Secara tidak langsung ini juga memberikan kesempatan sebagian petani untuk mengelola lahan dengan skala ekonomi baik melalui sistem persewaan maupun bagi hasil sehingga diharapkan produktivitasnya meningkat nyata.

Perlu dilakukan berbagai kebijakan yang mampu memberi insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Investasi yang besar baik investasi sumber daya manusia maupun sumber daya fisik di bidang pertanian sangat perlu menjadi prioritas.

Penelitian dan pengembangan teknologi serta penyuluhan pertanian baik skala nasional, regional, dan lokal menjadi sangat urgen. Penelitian yang serius tentang benih-benih baru dengan produktivitas tinggi melalui pendekatan bioteknologi juga menjadi solusi yang cukup baik.

Saat ini petani semakin sulit memperolah benih yang berkualitas karena umumnya diproduksi oleh perusahaan multinasional yang profit oriented sehingga harganya menjadi sangat mahal. Lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai penyedia public goods perlu didukung penuh sehingga mampu menghasilkan teknologi dan inovasi alternatif yang bisa diakses secara murah oleh public utamanya petani-petani kecil di pedesaan.

Pembangunan infrastruktur pertanian seperti saluran irigasi, jalan desa, pasar desa, dan lain-lain menjadi vital untuk menggairahkan petani. Jika berbagai kebijakan dapat berjalan dengan baik dan mampu memberikan insentif bagi petani maka harapan dan optimisme keberhasilan pembangunan pertanian akan semakin nyata. Keberpihakan dan waktu yang akan membuktikan apakah pertanian kita akan bangkit atau justru akan semakin terkubur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar